Beranda | Artikel
Mengapa Engkau Enggan Mengenal Tuhanmu? (Bag. 3)
Minggu, 4 Maret 2018

Baca pembahasan sebelumnya Mengapa Engkau Enggan Mengenal Tuhanmu? (Bag. 2)

Tauhid Asma’ wa Shifat Merupakan Ilmu yang Paling Utama dan Paling Penting Secara Mutlak

Sesungguhnya kemuliaan sebuah ilmu itu mengikuti kemuliaan sesuatu yang dipelajarinya. Terdapat berbagai macam ilmu pengetahuan di dunia ini, di antaranya ilmu tentang lautan, lapisan-lapisan bumi, hewan-hewan, astronomi/perbintangan, dan lainnya. Selain itu, terdapat juga ilmu tentang mengenal Allah Ta’ala, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Maka tidaklah diragukan lagi bahwa pengetahuan yang paling mulia dan paling agung adalah pengetahuan tentang Allah Ta’ala. Dia-lah Rabb alam semesta ini, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala semata. Manusia sangat butuh untuk mempelajari ilmu ini karena begitu agungnya manfaat yang akan didapatkan. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa ilmu tentang Allah, tentang nama dan sifat-Nya merupakan ilmu yang paling mulia dan paling agung. Membandingkannya dengan seluruh ilmu lainnya seperti membandingkan objek yang dipelajarinya (yaitu Allah Ta’ala) dengan seluruh objek ilmu yang lainnya. [1]

Senada dengan penjelasan di atas adalah perkatan Ibnul ‘Arabi rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata,

فَإِنَّ شَرَفَ الْعِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُومِ ، وَالْبَارِي أَشْرَفُ الْمَعْلُومَاتِ ؛ فَالْعِلْمُ بِأَسْمَائِهِ أَشْرَفُ الْعُلُومِ

”Kemuliaan sebuah ilmu itu tergantung pada kemuliaan objek yang dipelajarinya. Sedangkan Al-Baari (yaitu Allah) adalah Dzat yang paling mulia. Maka ilmu tentang nama-namaNya adalah ilmu yang paling mulia.” [2]

Jika ada yang bertanya,”Ilmu hanyalah sarana untuk beramal dan dimaksudkan untuk beramal. Sedangkan tujuan dari mempelajari ilmu adalah untuk diamalkan. Dan telah diketahui bahwa tujuan itu lebih mulia daripada sarana. Maka bagaimana Engkau lebih mengutamakan sarana (ilmu) daripada tujuan (beramal)?”

Maka kita katakan kepadanya, bahwa ilmu dan amal itu sendiri masing-masing terbagi menjadi dua macam. Di antaranya ada yang menjadi sarana, dan ada pula yang merupakan tujuan. Sehingga tidaklah semua ilmu itu merupakan sarana untuk meraih yang lainnya. Adapun ilmu tentang Allah, tentang nama dan sifat-Nya merupakan ilmu yang paling mulia secara mutlak serta merupakan tujuan itu sendiri (bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lainnya).

Allah Ta’ala berfirman,

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

”Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.(QS. Ath-Thalaq [65]: 12)

Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa sesungguhnya Dia menciptakan langit dan bumi serta di antara keduanya agar hamba-Nya mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sehingga ilmu ini merupakan tujuan dari penciptaan. Allah Ta’ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

”Ketahuilah bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)

Maka ilmu tentang keesaan Allah Ta’ala, bahwasannya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala semata, merupakan tujuan itu sendiri, dan bukan sarana. Meskipun tidaklah cukup ilmu tentang hal itu saja, akan tetapi harus disertai pula dengan peribadatan kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya.

Oleh karena itu, terdapat dua tujuan yang harus diraih oleh manusia. Pertama, mengenal Allah Ta’ala, nama-nama, dan sifat-sifatNya. Ke dua, beribadah kepada Allah Ta’ala sebagai tuntutan dan konsekuensi dari pengenalannya kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana ibadah merupakan tujuan yang ingin dicapai, maka demikian pula ilmu dan pengenalan tentang Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya ilmu merupakan ibadah yang paling utama. [3]

Tauhid Asma’ wa Shifat Merupakan Pokok Ilmu Agama

Sebagaimana ilmu tentang nama dan sifat Allah Ta’ala merupakan ilmu yang paling mulia dan paling agung, maka ilmu tersebut merupakan pokok segala jenis ilmu. Setiap ilmu lainnya merupakan cabang dari ilmu tentang-Nya dan sangat membutuhkannya. Ilmu tentang Allah Ta’ala merupakan dasar dan pokok segala ilmu. Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia akan mengenal selain-Nya. Dan barangsiapa yang bodoh tentang Allah, maka dia akan lebih bodoh lagi terhadap selain-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

”Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al-Hasyr [59]: 19)

Renungkanlah ayat ini, maka akan kita dapatkan makna yang dalam. Yaitu, barangsiapa yang lupa terhadap Rabb-nya, niscaya Allah Ta’ala akan menjadikannya lupa terhadap dirinya sendiri. Dia tidak lagi mengenal hakikat dirinya sendiri dan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya. Bahkan dia akan lupa terhadap sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhiratnya. Karena dia telah keluar dari fitrah penciptaannya sehingga lupa kepada Rabb-nya. Sehingga Allah Ta’ala pun membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri dan kepada apa yang dapat mendatangkan kebahagiaan di dunia dan di akhiratnya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

”Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya. Dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi [18]: 28)

Mereka lalai dari mengingat Rabb-nya sehingga membuat dirinya melampaui batas. Dia tidak lagi memperhatikan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya serta apa yang dapat membersihkan dirinya. Bahkan dia telah mencerai-beraikan isi hatinya, menyia-nyiakannya, melalaikan kebaikannya, dan dia pun kebingungan tanpa arah.

Ilmu tentang Allah Ta’ala merupakan modal berharga bagi seorang hamba untuk meraih kebahagiaan, kesempurnaan, dan kebaikan di dunia dan di akhirat. Sedangkan kebodohan tentang ilmu tersebut, menimbulkan konsekuensi bodohnya dirinya terhadap dirinya sendiri, kebaikannya, dan kesempurnaannya serta bodoh tentang hal-hal yang bisa membahagiakan dirinya. Maka ilmu tentang Allah Ta’ala merupakan sumber kebahagiaan seorang hamba, sedangkan bodoh tentang Allah Ta’ala merupakan sumber kesengsaraan dirinya.

[Bersambung]

***

Disempurnakan di malam hari, Rotterdam NL, 9 Jumadil awwal 1439/27 Januari 2018

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1]     Lihat Miftaah Daaris Sa’adah, 1/86; Al-Mujalla, hal. 22.

[2]     Ahkaam Al-Qur’an, 4/39.

[3]     Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/178.

[4]     Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/86.

🔍 Hukum Mencuri, Hadist Rumah Tangga, Lauful Mahfudz, Kesempurnaan Hanya Milik Allah, Ketentuan Shalat Jamak Dan Qasar


Artikel asli: https://muslim.or.id/36806-mengapa-engkau-enggan-mengenal-tuhanmu-bag-3.html